![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghHfF-NNQ-OnL7SsYcV53klL8yJnnrjgRSxFWLvEO9i214r_N-_XeD7d1x0MKwjW55W2vVRV3wfhGjlYK0xdPVLvSUDmbqQwqRNaDQ1IyWG81sfiQgdlQC497II7-g95MOn2RNY8XxAUU/s200/Picture1.jpg)
Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan
ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin
membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim-yang menguasai
Palestina saat itu-menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen
Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut
kembali,” kata Paus.
Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi
pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di
seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan,
emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.
Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis
Selatan-terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat
sipil-untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai
segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab
dengan antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)
Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa
mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah
bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini
sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci.
Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000
serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin
memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan
petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan
pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).
Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman,
dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond
(dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert
Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin
di medan perang Antakiyah (Syria) pada tanggal 3 Juni 1098.
Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib
membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi.
Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka
langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar
lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul
Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan
Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah.
Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan,
pada tanggal 2 Oktober 1187, Shalahuddin Al Ayyubi dan tentaranya memasuki
Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang
mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang
dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad)
dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah
kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit
dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”
Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan
pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka
sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka
berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap
orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)
Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak
ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan
menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur
terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan
keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara
lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para
tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara
mereka dan membebaskannya saat itu juga.
Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena
orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang
sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius
membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan
bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya
selama perjalanan ke Tyre (Libanon).
Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin
(Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks–bukan
bagian dari Tentara Salib-tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.
Kaum Salib segera mendatangkan bala bantuan dari
Eropa. Datanglah pasukan besar di bawah komando Phillip Augustus dan Richard
“Si Hati Singa”.
Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan sebagai
seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000
orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi
ini berlangsung di Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam menyaksikan
kekejaman ini, mereka tidak pernah memilih cara yang sama.
Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar kabar itu,
Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap
ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran
yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.
Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia
pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke
Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu,
Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka
datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya,
Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.
***
Perang Salib IV berlangsung tahun 1204. Bukan antara
Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta
Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).
Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221.
Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang
merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.
Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan
Perang Salib VI, tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih
berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin.
Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim,
tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota
tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.
Dua Perang Salib terakhir (VII dan VIII) dikobarkan
oleh Raja Prancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi
gagal dan ia menjadi tawanan. Prancis perlu menebus dengan emas yang sangat
banyak untuk membebaskannya.
Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan
menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk,
Bibars. Louis meninggal di medan perang.
Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun,
beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel oleh
Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib.
Penaklukan Islam oleh Ratu Spanyol, Isabella (1492), juga dianggap Perang
Salib. [sumber: globalkhilafah]
0 komentar:
Posting Komentar